Adinda, sempurna dengan segala kecantikannya. Tidak ada yang
tahu ayah ibunya sudah tidak ada. Kerja keras siang dan malam demi beli baju
bagus, sepatu buat ke mall dan tas paling bagus di toko dekat kantor. Katanya
dia bahagia dengan lelaki itu.
“Kamu dimana?”“Sedang bekerja nanti saya telepon lagi”
Selalu seperti itu, entah lelaki itu bekerja apa. Padahal bulan lalu pinjam uang 1 juta, minggu
lalu minta dibelikan sepatu adidas baru, baru 3 hari yang lalu minta dibelikan
celana jeans levis. Tubuh adinda seperti dikuras hingga masuk rumah sakit tadi
sore.
“kamu dimana?”“Sedang bekerja nanti saya telepon lagi”“Saya masuk rumah sakit. Harus dirawat inap katanya”“Rumah sakit mana?Sakit apa kamu?”“Entah. RS dekat kos saya”“Nanti saya kesana”
Telepon itu berakhir pukul 3 siang dan hingga pukul 9 malam
lelaki itu tidak datang. Adinda mencoba mengirimkan pesan kepada lelaki itu.
Terlihat pesan terakhir yang masuk. Bukan ucapan selamat pagi yang manis bukan
pula pertanyaan sudah makan dengan penuh perhatian.
“kamu dimana?saya mau pinjam uang sebentar buat lunasin kredit motor kemarin.”
Pesan demi pesan, esok dan esoknya, lelaki itu tidak pernah
datang. Menjawab telpon saja ogah-ogahan. Kata lelaki itu dia ada urusan
keluarga, urusan kantor, urusan organisasi dan segala urusan tai kucing
lainnya. Adinda punya sabar yang kata orang panjangnya bisa mengalahkan
jembatan suramadu. Tapi tidak malam ini, dinding rumah sakit terasa terlalu
dingin, langit-langit kamar terasa begitu mencekam, kesendirian dan kesepian
meresap perlahan jauh kedaam sanubari.
“Adinda, kamu sakit kanker hati”
Rasa sesak itu muncul mendesak dada. Adinda sekarang sadar hatinya
sudah benar-benar sakit jauh sebelum kanker ini ada.