About my Blog

But I must explain to you how all this mistaken idea of denouncing pleasure and praising pain was born and I will give you a complete account of the system, and expound the actual teachings of the great explorer of the truth, the master-builder of human happiness. No one rejects, dislikes, or avoids pleasure itself, because it is pleasure, but because those who do not know how to pursue pleasure rationally encounter consequences that are extremely painful.

Sabtu, 09 Oktober 2010

you are my sunshine

*You Are My Sunshine*

You are my sunshine
My only sunshine
You make me happy
When skies are gray
You’ll never know dear
How much I love you
Please don’t take my sunshine away

Dari dulu suka banget sama lagu ini. Lagu ini pertama kali saya dengar waktu SD dinyanyikan oleh ibu guru Bahasa Inggris saya yang sangat baik hati. Saya ingat sekali sesudah dia menyanyikan lagu ini, beliau menjelaskan kepada kami arti lagu ini. “Lagu ini artinya kalian ada lah sinar matahari yang terang yang selalu membuat orang lain bahagia walaupun mereka sedang sedih. Dan mereka sangat menyayangi kalian..”

Walaupun sekarang rasanya sulit sekali merasa bisa menjadi “sunshine”. Yaah hidup sudah jauh lebih rumit dari ketika saya mendengar lagu ini sewaktu SD. Rasanya ingin kembali menjadi anak SD yang bisa cepat merasa bahagia tetapi bisa lebih lama mengingatnya. Akan tetapi lagu “you are my sunshine” sampai saat ini pun masih terdengar sangat manis di telinga dan hati saya.

Terkadang lebih mudah menjalani hidup seperti anak kecil. Mudah terkesan akan sesuatu, melewati masalah dengan pikiran yang jauh lebih ringan, selalu berpikir punya banyak hal menyenangkan lainnya untuk dilakukan, masih punya banyak mimpi dan cita-cita. Ketika mulai beranjak dari masa anak-anak seperti inilah masalah dan pikiran akan semakin mengantri panjang. Ketika masih anak-anak ada beberapa masalah yang bisa selesai dengan hanya menangis. Nah, sekarang menangis hanya menjadi sebuah pilihan! Ketika untuk menangis pun sudah tak ada waktu dan kesempatan. Ketika kita harus terus berjalan kedepan menghadapi semua badai yang datang, sementara kita hanya ingin berhenti sebentar untuk menangis sekedar sedikit menyentuh menenangkan hati dan pikiran yang sudah terasa sangat berat dan kacau. Terkadang merasakan diri sendiri pun sudah tidak bisa lagi. Rasanya seperti mati rasa.
Akhirnya pilihan pun kembali dimana kita harus melupakan bagaimana cara menangis dan terus meneriakkan ke pikiran
"come on!"

"life must go on so you must started walking!"

"Learning to let go should be learned before learning to get. Life should be touched, not strangled. You’ve got to relax, let it happen at times, and at others move forward with it"


berusaha kembali menjadi seperti "sunshine" walaupun "langit berwarna abu-abu"



You could move on, do the best you could, but an ending was an ending. No matter how many pages of sentences and paragraphs of great stories led up to it, it would always have to have the last word.