Aku, entah mulai dari mana aku mulai menjelaskannya.
Sebenarnya aku juga tidak mengerti mengapa catatan ini aku buat.
Bingung, salah satu hal yang paling sering aku lakukan.
Seperti pagi ini, aku menatap kaca. Kemeja biru, celana kain hitam, rambut hitam.
Tidak terlalu tampan kata orang-orang, ya mungkin karena itu juga Mona meninggalkanku bulan lalu.
Yah jadi curhat kan. Harusnya lelaki seperti aku tidak boleh terkesan lemah seperti ini.
Sama dengan betapa aku berusaha untuk tetap cool dan tenang ketika melihat Mona sore hari itu pergi bersama dengan lelaki pilihannya. Aku berusaha melangkah tegak, berbeda dengan malam harinya saat berjalan pulang pun aku tak sanggup. Mabuk dan berantakan.
Aku tau aku bisa lebih baik.
Aku janji akan naik pangkat bulan depan.
Ah, sudahlah.
Semenjak itu rasanya perempuan itu sama dengan sampah untukku. Aku mulai tidak peduli, bertindak tidak baik pada kaum mereka tapi entah kenapa membuatku merasa lebih baik.
Setelahnya aku mirip dengan kondisi malam itu tetap berantakan namun kali ini mabuk gaji.
Sudah kubuktikan kan aku akan naik pangkat?
Hingga suatu kali kutemui Bunga.
Secara harafiah ya dia memang seperti bunga.
Namun seperti kataku semua bunga bagiku berbau busuk.
Tiba-tiba hari ini dia mengingatkanku untuk jangan lupa membawa dokumen nomor 2 lagi seperti yang aku lakukan pagi ini. Aku jawab "Tidak usah sok peduli"
Dia membuatkan kami semua cupcake manis untuk hari Valentine. Tak lama kemudian cupcake kepunyaanku berpindah tempat ke tempat sampah. "Untuk apa sih?!", aku berkata ketus.
Pagi itu untuk pertama kalinya aku temui dia dalam keadaan panik di rumah sakit.
Salah satu office boy kami membawa anaknya yang tiba-tiba sakit dan kejang di kantor.
Dia menjadi salah satu yang paling panik dan tanpa pikir panjang membantu membawa anak itu ke rumah sakit. Uang rumah sakit pun tidak luput menjadi perhatiannya. Aku melihatnya begitu khawatir. Akupun khawatir ketika hatiku merenguh memandangnya.
Pagi itu, lagi-lagi aku lupa membawa dokumen nomor 2 sialan itu. Dia datang, kembali seperti dulu tanpa sedikitpun rasa kesal pada diriku. "Lain kali coba diurutkan dokumennya dari nomor 1. Jika sudah berurut akan lebih mudah diperiksa", kata Bunga sembari mengambil tasnya. Kali ini aku menjawab dengan sedikit terbata, "Te-terimakasih".
Bunga, dia memang seindah bunga. Aku pun seperti anak kecil yang kembali bahagia melihat keindahannya. "Bunga, bila kini dapat kau lihat aku kian membaik. Semua itu tak lain ialah karena hati baikmu yang selalu memperbaiki.."
--catatan pria patah hati yang sok tegar
Selasa, 06 Agustus 2013
Selasa, 16 Juli 2013
Minggu, 26 Mei 2013
rindu untuk kota Jogjakarta
Sedang berada di jalan yang sudah biasa aku lalui.
Penat, macet, lelah dan membosankan.
Sesaat pandangan teralih ke langit kota Bandung yang muram.
Mungkin langit hatiku semuram sore itu.
Teringat langit lain, yang berwarna teduh.
Dihiasi dengan layang-layang dan udara yang menenangkan.
Nyaman, memang sesuai dengan logo kota ini
"Jogja Berhati Nyaman"
Mulai berputar di ingatan kepala semua sahabat dan indahnya cinta kota ini untukku.
Ah, tiba-tiba mata ini terasa panas berbayang air pandangannya.
Tiba-tiba sayup-sayup terdengar "izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi.."
aku ingin pulang lagi, Jogjakarta
Penat, macet, lelah dan membosankan.
Sesaat pandangan teralih ke langit kota Bandung yang muram.
Mungkin langit hatiku semuram sore itu.
Teringat langit lain, yang berwarna teduh.
Dihiasi dengan layang-layang dan udara yang menenangkan.
Nyaman, memang sesuai dengan logo kota ini
"Jogja Berhati Nyaman"
Mulai berputar di ingatan kepala semua sahabat dan indahnya cinta kota ini untukku.
Ah, tiba-tiba mata ini terasa panas berbayang air pandangannya.
Tiba-tiba sayup-sayup terdengar "izinkanlah aku untuk slalu pulang lagi.."
aku ingin pulang lagi, Jogjakarta
Sabtu, 05 Januari 2013
Adinda
Adinda, sempurna dengan segala kecantikannya. Tidak ada yang
tahu ayah ibunya sudah tidak ada. Kerja keras siang dan malam demi beli baju
bagus, sepatu buat ke mall dan tas paling bagus di toko dekat kantor. Katanya
dia bahagia dengan lelaki itu.
“Kamu dimana?”“Sedang bekerja nanti saya telepon lagi”
Selalu seperti itu, entah lelaki itu bekerja apa. Padahal bulan lalu pinjam uang 1 juta, minggu
lalu minta dibelikan sepatu adidas baru, baru 3 hari yang lalu minta dibelikan
celana jeans levis. Tubuh adinda seperti dikuras hingga masuk rumah sakit tadi
sore.
“kamu dimana?”“Sedang bekerja nanti saya telepon lagi”“Saya masuk rumah sakit. Harus dirawat inap katanya”“Rumah sakit mana?Sakit apa kamu?”“Entah. RS dekat kos saya”“Nanti saya kesana”
Telepon itu berakhir pukul 3 siang dan hingga pukul 9 malam
lelaki itu tidak datang. Adinda mencoba mengirimkan pesan kepada lelaki itu.
Terlihat pesan terakhir yang masuk. Bukan ucapan selamat pagi yang manis bukan
pula pertanyaan sudah makan dengan penuh perhatian.
“kamu dimana?saya mau pinjam uang sebentar buat lunasin kredit motor kemarin.”
Pesan demi pesan, esok dan esoknya, lelaki itu tidak pernah
datang. Menjawab telpon saja ogah-ogahan. Kata lelaki itu dia ada urusan
keluarga, urusan kantor, urusan organisasi dan segala urusan tai kucing
lainnya. Adinda punya sabar yang kata orang panjangnya bisa mengalahkan
jembatan suramadu. Tapi tidak malam ini, dinding rumah sakit terasa terlalu
dingin, langit-langit kamar terasa begitu mencekam, kesendirian dan kesepian
meresap perlahan jauh kedaam sanubari.
“Adinda, kamu sakit kanker hati”
Rasa sesak itu muncul mendesak dada. Adinda sekarang sadar hatinya
sudah benar-benar sakit jauh sebelum kanker ini ada.
Langganan:
Postingan (Atom)